Masyarakat di lahan gambut berisiko mengalami gangguan kesehatan karena mengonsumsi air bersifat asam yang bisa membuat gigi keropos. Selain itu, air gambut mengandung zat organik ataupun anorganik yang bisa mengganggu metabolisme tubuh.
Untuk mengatasi masalah itu, periset pada Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Ignasius D.A. Sutapa, M.Sc, merancang Instalasi Pengolah Air Gambut (IPAG) menjadi air baku yang sehat untuk dikonsumsi yang sesuai standar yang disyaratkan Kementerian Kesehatan.
Teknologi IPAG yang telah dikembangkan sejak tahun 2009 ini telah diimplementasikan dan disosialisakan dibanyak daerah di Indonesia. Salah satunya adalah di wilayah Sumatera Selatan yang memiliki lahan gambut terbesar ketiga di Indonesia, yakni seluas 1,4 juta hektar dan juga di Kalimantan Tengah.
Menurut Ignatius, air gambut memiliki sifat asam yang berbahaya bagi kesehatan. “Air gambut membahayakan kesehatan gigi dan lambung. Meski tidak dikonsumsi pun, air gambut yang bersifat asam dapat menyebabkan iritasi kulit jika digunakan untuk mandi,” terangnya.
Karakteristik air gambut yang asam, memiliki kandungan organik dan logam tinggi, serta berwarna coklat kemerahan sampai kehitaman membutuhkan proses pengolahan sebelum menjadi air layak konsumsi. Air gambut memiliki derajat keasaman (pH) 2,7- 4. Adapun pH netral adalah 7. Pengolahan air gambut melalui sejumlah tahapan, meliputi koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dekolorisasi, netralisasi, dan desinfektasi.
Selain itu, air gambut yang berwarna hitam kecoklatan itu mengandung senyawa organik trihalometan yang bersifat karsinogenik (memicu kanker). Selain itu, air gambut mengandung logam besi dan mangan dengan kadar cukup tinggi. Konsumsi dalam jangka panjang bisa mengganggu kesehatan.
Teknologi IPAG dengan sistem knock down yang dipadukan dengan desain alat yang sederhana menjadikan teknologi yang telah mendapatkan paten dari Kementerian Hukum dan HAM RI ini mudah untuk dioperasikan dan murah, serta dapat dikelola secara mandiri oleh warga. Konsumsi listriknya juga rendah sehingga cocok untuk wilayah yang memiliki sumber listrik minim.
Dari hasil penemuan instalasi pengolah air gambut ini memungkinkan dibuat sistem pengolah air gambut yang kontinyu dengan produktivitas tinggi. Peralatannya bisa dirancang dalam bentuk kecil dan mudah dibawa. Biaya produksi air bersih mencapai Rp 15.000-Rp 25.000 per meter kubik. Besar biaya bergantung pada kualitas air gambut yang diolah.
“Intinya, IPAG menyediakan teknologi pembersih air gambut yang biayanya lebih murah dan alternative sumber air bersih bagi masyarakat di wilayah bergambut,” pungkas Ignasius.
DIENDAPKAN DAN DISARING
“Pengolahan air gambut perlu tiga tahapan yakni menetralkan keasaman air, menghilangkan warna dan senyawaan lainnya, dan memisahkan partikulat,” jelas Ignatius. Air gambut diolah dengan cara koagulasi (diendapkan). Koagulan utama yang digunakan adalah alum sulfat. Koagulan ini digunakan dengan variasi konsentrasi hingga 50 bagian per sejuta (ppm), bergantung pada kepekatan air gambut.
Koagulasi menghasilkan endapan yang ditampung dalam bak sedimentasi. Selanjutnya, air dialirkan untuk disaring dengan pasir silika dan antrasit. Unit filtrasi merupakan saringan pasir cepat. Diameter pasir silika dan antrasit adalah 0,6-2 milimeter.
Komposisi media penyaring disusun berdasarkan tingkat efisiensi proses koagulasi. Media filter memungkinkan terbentuknya biofilm mikroorganisme. Ini yang menguraikan polutan organik air gambut yang dialirkan.
Untuk menghilangkan bau, warna, dan rasa digunakan penyaring karbon aktif. Dengan ukuran partikel karbon aktif relatif kecil, warna air gambut yang pekat dan mengandung asam humat dapat diserap.
Konsentrasi karbon aktif bergantung pada intensitas warna yang akan direduksi. Kemudian dilanjutkan dengan proses netralisasi tingkat keasaman air menggunakan soda ash. Untuk membunuh bakteri patogen di dalam air digunakan kalsium hipoklorit. (BAS-Vey/HumasLIPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar