“Apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat; dan apa yang saya lakukan saya paham” (Confusius)

Jumat, 24 Mei 2013

Pembelajaran Think Talk Write (TTW)



Think-Talk-Write (TTW) merupakan model pembelajaran yang dikembangkan oleh Huinker dan Laughlin. Model pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) didasarkan pada pemahaman bahwa belajar adalah sebuah perilaku sosial. Dalam model pembelajaran ini, peserta didik didorong untuk berpikir, berbicara, dan kemudian menuliskan berkenaan dengan suatu topik. Metode ini merupakan metode yang dapat melatih kemampuan berpikir dan berbicara peserta didik.
Menurut Huinker dan Laughlin (1996:82) menyatakan bahwa “The think-talk-write strategy builds in time for thought and reflection and for the organization of ides and the testing of those ideas before students are expected to write. The flow of communication progresses from student engaging in thought or reflective dialogue with themselves, to talking and sharing ideas with one another, to writing”.
Artinya, Model pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) membangun pemikiran, merefleksi, dan mengorganisasi ide, kemudian menguji ide tersebut sebelum peserta didik diharapkan untuk menulis. Alur model pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) dimulai dari keterlibatan peserta didik dalam berpikir atau berdialog reflektif dengan dirinya sendiri, selanjutnya berbicara dan berbagi ide dengan temannya, sebelum peserta didik menulis.

Model pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) melibatkan 3 tahap penting yang harus dikembangkan dan dilakukan dalam pembelajaran matematika, yaitu sebagai berikut.

1. Think (Berpikir atau Dialog Reflektif)
Menurut Huinker dan Laughlin (1996:81) “Thinking and talking are important steps in the process of bringing meaning into student’s writing”. Maksudnya adalah berpikir dan berbicara/berdiskusi merupakan langkah penting dalam proses membawa pemahaman ke dalam tulisan peserta didik.
Dalam tahap ini peserta didik secara individu memikirkan kemungkinan jawaban atau metode penyelesaian, membuat catatan kecil tentang ide-ide yang terdapat pada bacaan, dan hal-hal yang tidak dipahaminya sesuai dengan bahasanya sendiri. Menurut Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari (2008:85) “Aktivitas berpikir dapat dilihat dari proses membaca suatu teks matemtika atau berisi cerita matematika kemudian membuat catatan tentang apa yang telah dibaca”. Dalam membuat atau menulis catatan peserta didik membedakan dan mempersatukan ide yang disajikan dalam teks bacaan, kemudian menerjemahkan kedalam bahasa mereka sendiri.
Menurut Wiederhold seperti yang dikutip oleh Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari (2008:85)Membuat catatan berarti menganalisiskan tujuan isi teks dan memeriksa bahan-bahan yang ditulis”. Selain itu, belajar membuat/menulis catatan setelah membaca merangsang aktivitas berpikir sebelum, selama, dan setelah membaca, sehingga dapat mempertinggi pengetahuan bahkan meningkatkan keterampilan berpikir dan menulis.
Menurut Gusni Satriawati (2006:2-3) “Dalam pembelajaran matematika berpikir secara matematika digolongkan dalam dua jenis, yaitu berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi”. Contoh berpikir matematika tingkat rendah, yaitu melaksanakan operasi hitung sederhana, menerapkan rumus matematika secara langsung, dan mengikuti prosedur yang baku, sedangkan berpikir tingkat tinggi ditandai dengan kemampuan memahami ide matematika secara lebih mendalam, menggamati data dan mengenali ide yang tersirat, menyusun konjektur, analogi, generalisasi, menalar secara logik menyelesaikan masalah, berkomunikasi secara matemaik, dan mengkaitkan ide matematika dengan kegiatan intelektual lainnya.
Pada tahap ini peserta didik akan membaca sejumlah masalah yang diberikan pada Lembar Kegiatan Peserta didik (LKS), kemudian setelah membaca peserta didik akan menuliskan hal-hal yang diketahui dan tidak diketahui mengenai masalah tersebut (membuat catatan individu). Selanjutnya peserta didik diminta untuk menyelesaikan masalah yang ada secara individu. Proses berpikir ada tahap ini akan terlihat ketika peserta didik membaca masalah kemudian menuliskan kembali apa yang diketahui dan tidak diketahui mengenai suatu masalah. Selain itu, proses berpikir akan terjadi ketika peserta didik berusaha untuk menyelasaikan masalah dalam LKS secara individu.


2. Talk (Berbicara atau Berdiskusi)
Pada tahap talk peserta didik diberi kesempatan untuk merefleksikan, menyusun, dan menguji ide-ide dalam kegiatan diskusi kelompok. Menurut Huinker dan Laughlin (1996:81) “Classroom opportunities for talk enable students to (1) connect the language they know from their own personal experiences and backgrounds with the language of mathematics, (2) analyzes and synthesizes mathematical ideas, (3) fosters collaboration and helps to build a learning community in the classroom”. Artinya, peserta didik yang diberikan kesempatan untuk berdiskusi dapat: 
(1) megkoneksikan bahasa yang mereka tahu dari pengalaman dan latar belakang mereka sendiri dengan bahasa matematika, 
(2) menganalisis dan mensintesis ide-ide matematika, 
(3) memelihara kolaborasi dan membantu membangun komunitas pembelajaran di kelas.

Selain itu, Huinker dan Laughlin (1996: 88) juga meyebutkan bahwa Talking encourages the exploration of words and the testing of ideas. Talking promotes understanding. When students are given numerous opportunities to talk, the meaning that is constructed finds its way into students’ writing, and the writing further contributes to the construction of meaning. Artinya, berdiskusi dapat meningkatkan eksplorasi kata dan menguji ide. Berdiskusi juga dapat meningkatkan pemahaman. Ketika peserta didik diberikan kesempatan yang banyak untuk berdiskusi, pemahaman akan terbangun dalam tulisan peserta didik, dan selanjutnya menulis dapat memberikan kontribusi dalam membangun pemahaman. Intinya, pada tahap ini peserta didik dapat mendiskusikan pengetahuan mereka dan menguji ide-ide baru mereka, sehingga mereka mengetahui apa yang sebenarnya mereka tahu dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan untuk dipelajari.
Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari (2008:86) mengutarakan talk penting dalam matematika karena sebagai cara utama untuk berkomunikasi dalam matematika, pembentukan ide (forming ideas) melalui proses talking, meningkatkan dan menilai kualitas berpikir karena talking dapat membantu mengetahui tingkat pemahaman peserta didik dalam belajar matematika.
Pada tahap talk memungkinkan peserta didik untuk terampil berbicara. Pada tahap ini peserta didik akan berlatih melakukan komunikasi matematika dengan anggota kelompoknya secara lisan. Masalah yang akan didiskusikan merupakan masalah yang telah peserta didik pikirkan sebelumnya pada tahap think. Pada umumnya peserta didik menurut Huinker dan Laughlin (1996:82) talking dapat berlangsung secara alamiah tetapi tidak menulis. Proses talking dipelajari peserta didik melalui kehidupannya sebagai individu yang berinteraksi dengan lingkungan sosial. Dengan berdiskusi dapat meningkatkan aktivitas peserta didik dalam kelas. Berkomunikasi dalam diskusi menciptakan lingkungan belajar yang memacu peserta didik berkomunikasi antar peserta didik dapat meningkatkan pemahaman peserta didik karena ketika peserta didik berdiskusi, peserta didik mengkonstruksi berbagai ide untuk dikemukakan.


3. Write (Menulis)
Masingila dan Wisniowska (1996:95) menyebutkan bahwa writing can help students make their tacit knowledge and thoughts more explicit so that they can look at, and reflect on, their knowledge and thoughts. Artinya, menulis dapat membantu peserta didik untuk mengekspresikan pengetahuan dan gagasan yang tersimpan agar lebih terlihat dan merefleksikan pengetahuan dan gagasan mereka.
Writing in mathematics helps realize one of the major goals in teaching, namely, that students understand the material being studied (Shield dan Swinson, 1996:35). Artinya, menulis dalam matematika dapat merealisasikan tujuan utama dalam pembelajaran, yaitu pemahaman peserta didik tentang materi yang telah diajarkan. Selain itu melalui kegiatan menulis dalam pembelajaran matematika, peserta didik diharapkan dapat memahami bahwa matematika dibangun melalui suatu proses berpikir yang dinamis, dan diharapkan pula dapat memahami bahwa matematika merupakan bahasa atau alat untuk mengungkapkan ide.
Masingila dan Wisniowska (1996:95) juga menyebutkan bahwa for teacher, writing can elicit (a) direct communication from all members of a class, (b) information about student’s errors, misconception, thought habits, and beliefs, (c) various students’ conceptions of the same idea, and (d) tangible evidence of students’ achievement. Artinya, manfaat tulisan peserta didik untuk guru adalah (1) komunikasi langsung secara tertulis dari seluruh anggota kelas, (2) informasi tentang kesalahan-kesalahan, miskonsepsi, kebiasaan berpikir, dan keyakinan dari para peserta didik, (3) variansi konsep peserta didik dari ide yang sama, dan (4) bukti yang nyata dari pencapaian atau prestasi peserta didik.
Aktivitas menulis peserta didik pada tahap ini meliputi: menulis solusi terhadap masalah/pertanyaan yang diberikan termasuk perhitungan, mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah (baik penyelesaiannya, ada yang menggunakan diagram, grafik, ataupun tabel agar mudah dibaca dan ditindaklanjuti), mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin tidak ada perkerjaan ataupun perhitungan yang ketinggalan, dan meyakini bahwa pekerjaannya yang terbaik, yaitu lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya (Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari, 2008:88).
Pada tahap ini peserta didik akan belajar untuk melakukan komunikasi matematika secara tertulis. Berdasarkan hasil diskusi, peserta didik dimita untuk menuliskan penyelesaian dan kesimpulan dari masalah yang telah diberikan. Apa yang peserta didik tuliskan pada tahap ini mungkin berbeda dengan apa yang peserta didik tuliskan pada catatan individual (tahap think). Hal ini terjadi karena setelah peserta didik berdiskusi ia akan memperoleh ide baru untuk menyelesaikan masalah yang telah diberikan.


Sintaks (Langkah-langkah) dalam Model Pembelajaran Think-Talk-Write (TTW)
Model pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) memiliki langkah-langkah (sintaks) dalam pembelajaran, yaitu sebagai berikut.
  1. Guru membagi Lembar Kerja Peserta didik (LKS) yang berisi masalah yang harus diselesaikan oleh peserta didik. Jika diperlukan diberikan sedikit petunjuk.
  2. Peserta didik membaca masalah yang ada dalam LKS dan membuat catatan kecil secara individu tentang apa yang ia ketahui dan tidak ketahui dalam masalah tersebut. Ketika peserta didik membuat catatan kecil inilah akan terjadi proses berpikir (think) pada peserta didik. Setelah itu peserta didik berusaha untuk meyelesaikan masalah tersebut secara individu. Kegiatan ini bertujuan agar peserta didik dapat membedakan atau menyatukan ide-ide yang terdapat pada bacaan untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa sendiri.
  3. Peserta didik berdiskusi dengan teman dalam kelompok membahas isi catatan yang dibuatnya dan penyelesaian masalah dikerjakan secara individu (talk). Dalam kegiatan ini mereka menggunakan bahasa dan kata-kata mereka sendiri untuk menyampaikan ide-ide matematika dalam diskusi. Diskusi diharapkan dapat menghasilkan solusi atas soal yang diberikan. Diskusi akan efektif jika anggota kelompok tidak terlalu banyak dan terdiri dari anggota kelompok dengan kemampuan yang heterogen. Hal ini sejalan dengan pendapat Huinker dan Laughlin (1996:82) yang menyatakan bahwa this strategy to be effective when students working in heterogeneous group to six students, are asked to explain, summarize, or reflect. Artinya, metode TTW akan efektif ketika peserta didik bekerja dalam kelompok yang heterogen yang terdiri dari 2 sampai 6 peserta didik yang bekerja untuk menjelaskan, meringkas, atau merefleksi.
  4. Dari hasil diskusi, peserta didik secara individu merumuskan pengetahuan berupa jawaban atas soal (berisi landasan dan keterkaitan konsep, metode, dan solusi) dalam bentuk tulisan (write) dengan bahasanya sendiri. Pada tulisan itu peserta didik menghubungkan ide-ide yang diperolehnya melalui diskusi.
  5. Perwakilan kelompok menyajikan hasil diskusi kelompok, sedangkan kelompok lain diminta memberikan tanggapan.
  6. Kegiatan akhir pembelajaran adalah membuat refleksi dan kesimpulan atas materi yang dipelajari. Sebelum itu dipilih beberapa atau satu orang peserta didik sebagai perwakilan kelompok untuk menyajikan jawabannya, sedangkan kelompok lain diminta memberikan tanggapan.


DAFTAR PUSTAKA
  • Nur, M. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Penerbit Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA.
  • Rifa’i, A. dan Anni, C. T. 2005. Psikologi Pendidikan. Semarang: Penerbit Pusat Pengembangan MKU/MKDK-LP3 Universitas Negeri Semarang.
  • Santyasa, I. W. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif. Makalah ini disajikan dalam pelatihan tentang Penelitian Tindakan Kelas bagi Guru-guru SMP dan SMA, Nusa Penida, 29 Juni s.d. 1 Juli.
  • Suaidin. 2011. Metode Pembelajaran Think-Talk-Write, (http://dikporadompu.net/wp/?p=71, diakses 23 November 2011).
  • Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.
  • Suyitno, A. 2011. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika 1. Universitas Negeri Semarang.
  • Zulkarnaini. 2011. Model Kooperatif Tipe Think Talk Write (TTW) Untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi dan Berpikir Kritis. Universitas Pendidikan Indonesia.

Tidak ada komentar: