“Apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat; dan apa yang saya lakukan saya paham” (Confusius)

Jumat, 28 Desember 2012

Pohon Oak

Seorang tukang kebun yang sudah tua dan berpengalaman telah mengamati sebuah pohon selama berhari hari. Cabang dan dedaunannya nampaknya tidak sesuai dengan usahanya merawat pohon tersebut. 

"Aku tahu," katanya dengan nada sedikit bersedih. 

"Akar-akarnya kurang dalam. Akar-akarnya seharusnya bisa lebih kuat di dalam tanah, dan hanya angin dan badailah yang akan bisa membuat akarnya kuat.” 

Ketika matahari terbenam, tukang kebun tersebut membereskan peralatan berkebunnya, menutup pagar kebun, dan masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama, sekumpulan besar awan hitam mulai terlihat di langit. 

“Aku minta maaf karena caraku yang keras.” 

Kata tukang kebun tersebut, sambil melambaikan tangan ke arah awan tadi. 

“Tapi pohon itu butuh akar yang lebih kokoh, dan hanya angin kencang lah yang bisa membuatnya begitu.” 
Kemudian suara-suara angin pun terdengar, ketika ia menggoncang tiap dahan pohon tersebut. 

"Oh!" keluh pohon tersebut. 

"Oh, tukang kebun yang jahat, ia mengirim angin! Angin itu pasti akan merobohkanku!" 

Pohon tersebut memajukan rantingnya layaknya tangan yang meminta pertolongan, memanggil sang tukang kebun untuk datang, dan menyelamatkannya dari badai tersebut. 

Bunga-bunga di bawahnya menunduk, sementara angin meniup bau wangi mereka ke arah pohon tersebut. 

"Mereka tidak mengeluh seperti aku. Mereka tidak menderita seperti aku," kata sang pohon sambil terengah-engah. 

"Mereka tidak butuh badai. Hujan dan embun lah yang mereka inginkan," kata tumbuhan menjalar, yang telah merambat selama bertahun-tahun di atas pohon Ek yang telah mati, yang dulunya adalah kebanggaan di kebun tersebut. 

“Aku mendengar tukang kebun itu berkata sesuatu tiap sore..” lanjut tanaman itu, "bahwa kau harus punya akar yang kuat dan dalam, maka ia mengirim angin untuk mewujudkannya." 

“Aku ingin tahu, apakah hanya aku di kebun ini yang butuh goncangan," 

Kata pohon Ek tadi, dengan sedikit marah. 

"Ada pohon willow di dekat kolam yang selalu menangis dan…" 

"Tapi," sela tanaman rambat , "itulah yang membuat air kolam menjadi indah, dan selalu berkilau…air mata yang terus jatuh, dan kita harus bersyukur. Lagipula, pohon itu sangatlah anggun…" 

"Oh tentu, semua pohon itu indah kecuali aku. Aku mendengar tukang kebun itu memuji pohon elm dan pohon maple, dan bahkan juga pinus. Tapi ia tak berkata satu kata pun tentang pohon Ek. Aku sebernarnya tak peduli tentang diriku sendiri, tapi aku peduli pada keluargaku. Kalau begitu, aku harus mati, seperti saudaraku. Suatu hari kita semua akan mati, tapi tak seperti saudaraku sesama pohon Ek, tak aka nada yang akan melekat padaku seperti kau, tanaman rambat, melekat di tubuhnya yang tua.” 

"Kau salah. Kata tukang kebun itu beberapa hari yang lalu, ia akan menanam tanaman rambat seperti aku jika dedaunanmu tidak menjadi lebih baik, sehingga kau bisa terlihat lebih indah di kebun ini.” 

"Aku tak mau ia melakukannya. Aku tak ingin punya daun pinjaman. Pohon Ek sudah punya daya tarik sendiri. Tapi tanaman rambat, apakah badai itu tak membuatmu menderita? Aku takut aku akan mati, tapi jika aku masih bisa hidup maka aku akan menunjukkan pada tukang kebun itu apa yang bisa aku lakukan. Tapi tanaman rambat…" 

Suara pohon Ek tersebut bergetar, "katakan pada tukang kebun itu, kalau pagi datang, jika…jika aku mati…bahwa….bahwa…badai yang menakutkan itu membunuhku, bukannya menolongku." 

Angin pun membuat suara yang kencang, sehingga ia tak bisa mendengar jawaban tanaman rambat itu. Ketika pohon Ek itu menunggu waktunya mati, ia berpikir bahwa jika ia masih hidup, ia akan menggunakan dahan dan rantingnya untuk melindungi bunga-bunga di kakinya, melindungi mereka dari panasnya matahari, dan mencoba menjadi lebih baik dengan semuanya. 

Maka angin pun membuat akar-akar pohon Ek itu menjadi menancap semakin dalam ke tanah, sampai ia merasakan sesuatu. Apakah itu kematian? 

Pohon itu mendongakkan kepalanya. Awan tadi telah bergerak ke Selatan. Suasana sudah tenang, dan bintang-bintang pun bersinar seperti mata yang ramah di surga. 

. . . 

"Pohon Ek itu pasti sudah mati kalau bukan karena badai," kata tukang kebun itu, beberapa minggu kemudian, ketika ia menunjukkan kebunnya pada seorang teman. 

Tukang kebun itu berdiri di bawah pohon, dan ia melihat dengan senang dedaunan baru yang tumbuh, yang terlihat lebih indah daripada dahulu. 

"Pohon ini hanya perlu akar yang kuat. Pohon malang ini dahulu tidak bisa menyerap kelembaban yang cukup dari dalam tanah sebelum badai mengguncang akarnya dan membuatnya lebih dalam. Jika saja aku tahu filosofi badai sebelumnya, aku tak perlu kehilangan pohon Ek yang satunya lagi." 

Tukang kebun tua itu pun duduk di bawah pohon, dan tempat itu menjadi tempat favoritnya selama bertahun-tahun untuk beristirahat setelah bekerja. Pohon Ek itu hidup lama, dan merupakan kebanggaan sang tukang kebun. 

Para gadis menggunakan dedaunannya untuk merangkai bunga, dan anak-anak bermain di bawah pohon. Pohon itu sangat bahagia karena bisa membuat orang lain senang. Ia telah memetik sebuah pelajaran dari badai, dan selalu berkata pada pohon Ek yang lebih muda, 

"Sinar matahari dan tiupan angin yang nyaman punya peranan dalam pertumbuhan kita, tapi mereka bukanlah segalanya yang kita butuhkan untuk bisa benar-benar tumbuh."

http://www.justelsa.com

Tidak ada komentar: